Shaidul Khatir, Perbedaan Tingkatan Manusia Dikala Menerima Nasehat
Tatkala nasehat diperdengarkan kepada kita, sering kali muncul dalam diri kita suatu kesadaran spontan, namun tatkala kita keluar dari mejelis ilmu, hati kita kembali mengeras dan membatu.
Inilah yang menjadi renungan Imam Ibnu Jauzy, kemudian beliau mengatakan bahwa manusia berbeda-beda kondisinya dalam menerima nasehat.
Manusia tidak berada dalam kondisi yang sama, disaat mendengarkan nasehat dan setelah mendengarkannya.
Kemudian beliau memberikan dua kesimpulan kondisi manusia,
Pertama, Nasehat itu ternyata laksana cemeti, ketika seseorang habis dipukuli dg cemeti itu ia sering kali tak merasa sakit,
Kedua, Tatkala mendengar nasehat, ia sedang berada dalam kondisi jiwa dan pikiran yang prima. Dia terlepas dari segala ikatan duniawi. Ia diam dan menghadirkan hatinya.
Akan tetapi tatkala kembali disibukkan dengan urusan dunia, penyakit lamanya kambuh kembali.
Mungkinkah ia bisa kembali seperti kondisi saat mendengarkan nasehat ?
Kondisi ini dapat menimpa setiap orang. Hanya mereka yang memiliki kesadaran tinggilah yang bisa mengatasi pengaruh-pengaruh duniawi tersebut.
Ada yang bertekad kuat untuk kokoh berpegang pada prinsip yang diyakininya, lalu ia berjalan tanpa menoleh lagi.
Ia akan memberontak jika prilakunya tidak lagi sesuai dengan tabiat dirinya, seperti Hanzhalah yang pernah mengecam dirinya sendiri, ‘aku telah munafik’ kata hanzhalah
Ada pula yang terkadang masih terseret seret oleh kelalaian akibat pengaruh tabiat kurang baik dari dirinya.
Namun pada saat yang sama, nasehat baik masih mempengaruhi dirinya untuk beramal. Mereka laksana cabang-cabang pohon yang goyah diterpa hembusan angin.
Ada pula golongan manusia yang tak terpengaruh apa-apa, hanya sekedar mendengar, mereka laksana batu-batu yang diam.
Sahabat, mari kita minta kepada Allah agar dikaruniai hati yang lembut, hati layin yang mudah menerima nasehat dan senantiasa mudah beramal dengan nasehat itu.
Sehingga Ridho dan Cinta Allah kita dapatkan. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin..
“Rabbish rahli sadri. Wayassirli amri. Wahlul uqdatam millisani. Yafqahu qauli.”
“Ya Allah, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thoha: 25-28)
Sumber : Kitab Shaidul Khatir, Imam Ibnu Al-Jauzy